OPINI | UMKM PRINGSEWU SEKARAT: INFLASI MENGGILA, PEMERINTAH MENGHILANG

Header Menu


OPINI | UMKM PRINGSEWU SEKARAT: INFLASI MENGGILA, PEMERINTAH MENGHILANG

Citra hukum
Jumat, 11 April 2025


Citrahukum.com| UMKM di Pringsewu kini tak lagi berjuang. Mereka bertahan hidup di ujung tanduk. Inflasi merangkak naik, daya beli rakyat ambruk, bahan baku melonjak, dan negara? Sibuk seremoni.

Kita selalu dijejali jargon bahwa UMKM adalah tulang punggung ekonomi nasional. Tapi mari jujur—hari ini, tulang itu retak, hampir patah. Bukan karena kurang semangat, tapi karena terlalu lama dipikul sendirian.

DATA BICARA.
Menurut BPS Provinsi Lampung, inflasi tahunan Lampung per September 2024 sebesar 2,16%, dengan kenaikan tertinggi pada kelompok makanan dan minuman: 3,51%. Harga-harga pokok meroket, dari beras, minyak goreng, hingga cabai rawit. Untuk UMKM kuliner di Pringsewu, ini sama saja dengan tikaman pelan namun pasti.

Daya beli masyarakat juga terjun bebas. Indeks Harga Konsumen (IHK) Lampung pada Desember 2024 mencapai 108,43, dan ini adalah alarm keras bahwa rakyat tidak sanggup membeli! Tapi jangan harap negara turun tangan. Yang turun hanya banner dan spanduk pelatihan.

PELATIHAN? SEREMONI MURAHAN.
Pelaku UMKM di Pringsewu muak dengan program yang hanya tampil untuk foto. Pelatihan berulang dengan isi yang dangkal, tanpa kelanjutan, tanpa modal, tanpa pendampingan. Apa gunanya pelatihan kalau besok saja mereka tak bisa beli bahan baku?

“Kami cuma dipanggil kalau ada acara. Habis itu ditinggal,” keluh salah satu pelaku UMKM di Gading Rejo.

ANGGARAN MILIARAN, TAPI KAMI TETAP MISKIN.
Tahun 2024, lebih dari Rp 500 miliar anggaran disiapkan untuk pengembangan UMKM di Lampung. Tapi coba tanya pelaku usaha kecil di Banyumas, Pagelaran, atau Sukoharjo: berapa rupiah yang benar-benar mereka terima? Nol besar. Uang negara menguap entah ke mana. Proyek jalan terus, UMKM jalan di tempat.

KUR? Jangan bohong. Akses ribet, birokrasi memusingkan, dan ujung-ujungnya hanya orang dalam yang lolos. Sementara pelaku usaha ultra mikro di Pringsewu lebih sering terpaksa meminjam ke pinjol atau rentenir dengan bunga 20-30% per bulan.

INI BUKAN EKONOMI KERAKYATAN. INI EKONOMI RIMBA.
Yang kuat bertahan, yang lemah dilindas. Negara tak jadi pengayom, malah jadi penonton. Sementara rakyat dikorbankan atas nama pertumbuhan ekonomi yang hanya dinikmati segelintir elit.

Jadi mari kita tanya keras-keras:
Siapa sebenarnya yang diamanahi anggaran UMKM itu?
Siapa yang bertanggung jawab atas distribusi bantuan yang tak pernah menyentuh rakyat kecil?
Siapa yang harus kita tagih saat UMKM roboh dan lapangan kerja lenyap?

Kalau pemerintah tak bisa hadir dengan nyata, berhenti menyebut UMKM sebagai pahlawan ekonomi. Karena pahlawan sejati tak dibiarkan mati perlahan di lapak dagang yang sepi.

UMKM Pringsewu menjerit. Tapi yang berwenang justru menutup telinga. Dan jeritan ini, kalau terus diabaikan, akan berubah jadi ledakan ketidakpercayaan. Bukan hanya pada program, tapi pada seluruh sistem.

Cukup sudah. UMKM tak butuh janji. UMKM butuh keberpihakan. SEKARANG.
(Surohman S.H)